Tentang Penulis

Catatan

Ambis

“Gw kan gak kayak lo, lo kan ambis.”
Mungkin teman-teman pernah dinilai ambis oleh orang lain. Jangan kaget karena begitulah dunia kerja. Jangan didebatin, karena kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib,

kita tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu.

Ambis itu bahasa gaul, bahasa kamusnya ambisi. Maknanya sebenernya netral ya. Kata KBBI, ambisi itu adalah keinginan yang besar untuk menjadi, memperoleh, mencapai sesuatu atau melakukan sesuatu.

Cuman skrg konotasinya negatif, karena salah penempatan terhadap subjek, predikat, objek dan keterangan. Ini bahaya sih. Seorang sales misalnya yang mau mengejar target penjualan tahunan karena KPInya dia, si salesman sampai banting tulang, pergi pagi pulang malam, effortnya lebih dari 100%, sama temannya yang iri dibilang ambis. Kan konyol ya.

Gw dulu punya rekan kerja. Dia aktif terlibat di tim ad-hoc (taskforce) pembenahan arsip padahal dia orang accounting, padahal bisa aja dia gak peduli. Gak kebayang sih kalau keterlibatan dia dianggap ambis, kalau dia ga ikutan tim, gudang arsip berantakan, tikus-tikus semakin berkeliaran.

Misalnya lagi ada seorang pegawai yang senang melakukan pelayanan/support yang baik ke banyak orang, atasan, bawahan, rekan kerja divisi lain dan kolega, lalu dia disenangi banyak orang, tapi ada satu dua orang ga suka lantas mencap pegawai tersebut ambis. Ini juga kocak. Padahal sikap senang melayani adalah salat satu etika para profesional loh.

Inilah rusaknya mindset orang-orang yang gak profesional, menilai orang ambis, padahal orang itu cuman sedikit kenal di dunia kerja, dia bukan bapaknya, bukan ibunya dan bukan keluarganya. Hahaha..

Tapi gak apa-apa. Penilaian negatif orang gak akan membuat orang profesional takut kehilangan pekerjaan. Gmana mereka takut, orang profesional banyak yang nunggu di luaran sana. Itu kenapa orang kayak Bu Sri Mulyani Indrawati & Pak Ignasius Jonan harus menjadi contoh role model kita dalam berkarir karena bisa survive disegala jaman, ga jadi miskin hanya karena terdepak dari politik. Sebagian sikap profesionalitas mereka sdh gw tulis ditulisan gw sebelumnya. Cekidot.

Gw paham, kata ambis jadi negatif karena disematkan oleh orang lain ke seseorang yang mau mencapai tujuan tertentu tetapi seseorang tersebut mengorbankan dan menjatuhkan orang lain. Itu ada. Tapi itu tentu bukan jalannya kita, para profesional.

Emang siapa yg sdh kita korbanin atau akan kita korbankan dalam ambisi kita? Gak ada. Bagi orang profesional, setiap ada masalah, selalu dia selesaikan di working level. Kalau dah ga bisa diselesaikan paling cuman bilang oh ya udah cukup tahu atau paling didoain.

Padahal kalau mau, kita yang diangap ambis, gampang aja sih, si A, si B, si C si paling kurang respek itu, kita ceritain aja ke atasan2 kita, karena orang profesional gw rasa lebih punya relasi baik ke atasan2nya, meskipun dia bukan anaknya atau keluarganya. Hahahaa. Tapi, kalau gw pribadi sih belum pernah melakukan itu dari dulu sampai skrg. Karena gw pikir ga ada guna.

Meskipun ya akhir-akhir ini gw kayak keabisan duit, eh kok duit, energi maksudnya, gw merasa kayaknya sekali-sekali boleh juga coba lapor pak. Sitkom Trans7 kali ah Lapor Pak. Wkwkw

Lapor pak, ini ada orang yg dah dibantu tapi susah banget untuk balik bantu dan ga fully support. Atau ini nih Bu, anak buah Ibu bla.. bla..bla.. Itu template dalam hati & pikiran gw. Hahaha.. tapi masih ada rasa kasian juga.

Alhasil gw merasa altruisme gw kayaknya kelewatan. Altruisme adalah sikap atau naluri untuk memperhatikan dan mengutamakan kepentingan dan kebaikan orang lain. Dalam sebuah artikel Christina Halloway yg berjudul The Right Doses Of Self-Interest And Altruism For Your Career disebutkan ga bagus juga kalau sikap baik kita itu terlalu berlebihan, kita bisa burnout diri kita sendiri karena setiap challenge yg mentok di lapangan karena hambatan orang lain karena kita gak eskalasi ke atas, dipendam sendiri karena rasa kasian ama orang itu yg padahal dah gak profesional samsek.

Tapi sebaliknya, kenapa ada orang lain yang tega lapor-laporin kita ke atasan misalnya walau masalahnya bisa dibicarakan baik-baik dg kita? Menurut gw, that is the difference theory. Teorinya self-serving bias.

Teori ini menyebutkan adanya kecenderungan manusia untuk menyalahkan kekuatan eksternal ketika mengalami hal-hal buruk dan memberi penghargaan pada diri sendiri ketika hal-hal baik terjadi. Nah kita kebagian yang disalah-salahkan Wkwkwk.. sial bener ya. Haha

Sehingga, gw juga lagi berpikir, apa perlu kita melakukan self-preserving untuk kesehatan mental dg caring less/menurunkan level kepedulian terhadap banyak hal dan di sisi lain perlu menaikan level self-serving, fokus saja dg tugas-tugas kita, sehingga akan lebih balance, meskipun risikonya akan dianggap lebih selfish? Ini menarik sehingga butuh kajian dan perenungan mendalam. Let’s see.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *