Direktur Wanita Pertama dalam Karir Gue
May the best of your past be the worst of your future. Semoga yang terbaik di masa lalu kamu, menjadi yang terburuk di masa depanmu.
Kalau yang terburuk di masa depan saja merupakan yang terbaik di masa lalu, bagaimana yang terbaiknya? Pasti berharap jauh lebih baik lagi.
Pesan Itu dari ibu bos di kantor lama tanggal 31 Desember 2019 waktu pergantian tahun. Padahal waktu itu, gue sudah resign 6 bulan lamanya. Hiks, ternyata ibu masih ingat ya.
Gue balas pesan ibu selang 1 hari setelahnya ketika tahun telah berganti ke 2020. Bingung sih mau bales apa lebih tepatnya. Gue sampe harus mengkonsultasikan ke beberapa orang kalimat balasannya. Ribet ya? Hahaha
Gue gak mau memulai komunikasi. Meski sebenernya gua kangen menyapa mereka, para bos gua terdahulu walau sekedar say hallo. Gue nih terlalu banyak mikir, kalau gue menyapa takut disangka butuh kerjaan.
15 Juli 2020. Ibu WA lagi. Ibu ucapkan terima kasih dan menanyakan kabar. Ya gue waktu itu emang nitip pulpen bertuliskan namanya ke ibu sebagai hadiah ulang tahunnya.
Jadi ceritanya seminggu sebelumnya, 6 Juli 2020. Teman2 tim gua di tempat lama posting di WAG kalau ibu ultah. Mereka juga cerita kalau dulu waktu gua resign, ibu yang kasih ide buat ngasih pulpen bertuliskan nama gua.
Kali ini gue berpikir saatnya ngasih hadiah yang sama buat ibu. Apalagi gue sekarang posisinya sudah head of. Anjay.. gak penting banget… wkwk.. Walaupun tetep aja sih hadiah gue gak sebanding. Tapi ibu bilang liat postit-nya aja dah seneng. It’s the thought that counts. Nama gua dipostit lebih berharga daripada sekedar harga pulpen nampaknya. Gila jadi GR gua. Hahaha..
Gue seneng banget sih denger responsenya ibu. Gue kira ibu akan melupakan gua. Soalnya gini loh, gue waktu resign itu rada kurang ajar sih, baru diangkat jadi manajer eh malah resign. Padahal kita kenal baru 6 bulan waktu itu. Ibu baru jadi Dirkeu dan gue masih asmen.
Coba bayangin, baru kenal, sudah menaikan jabatan, naikin gaji, naikan posisi? Mungkin kalau di cerita legenda gue dah dikutuk jadi malin kundang. Wkwk.. Tapi gue jujur, beban gue rada gak terlalu berat, karena gue gak pernah meminta naik jabatan sih, naik gaji dll, karena mentor gua bos gue terdahulu sebelum ibu pernah bilang ke gue kalau mau sukses, “kerja aja yang bener.”
Definisi kerja bener sesuai nasihatnya adalah kerja yang helpfully tanpa memandang siapa yang minta, temen, beda divisi, bawahan apalagi atasan. Kerja benar itu berusaha deliverynya on time, produk dan jasa yang tersampaikan diterima gak ditolak.
Kalaupun diretur, kita revisi kita balikin lagi. Ada masukan, kritik dan saran kita layani dan anggap sebagai layanan purna jual. Karena rekan kerja kita dan atasan adalah konsumen kita.
Ya udah gue cuma kerja yang bener selama 6 bulan kurang lebih perkenalan. Awal2 gue dapat info terpercaya, kalau gue rada meragukan buat ibu, gak sesuai ekapektasi. Peragu, dll.
Ya wajar sih, baru kenal dan gue gak berusaha membuka diri terlalu jauh. Biar waktu yang membuktikan kata di film-film. Buat apa kita dipasarin orang-orang eh tahu-tahunya diri kita gak sesuai ekpektasi. Mending diragukan di awal, tapi diakui di akhir, secara langsung karena kita pantas.
Waktu gue resign jelas gak enak hati sih. Tapi untuk mengurangi rasa itu gue buat surat resign 2 halaman, tadinya mau lebih, tapi takut malah jadi cerpen lagi. Surat itu saja sudah menjadi surat resign terpanjang dalam karir gua ya. Mungkin bisa masuk rekor MURI.
Alhamdulillah. Gue merasa keluar dengan baik-baik. Gue resign bukan karena marah. Big no. Bukan karena tersingkir. Politik atau apapun. Bukan karena punya masalah. Buktinya ibu di hari yang sama tanggal 15 Juli 2020 menanyakan, “gak ada niat masuk ke sini lagi?”
Hmmmm…. menarik, tapi…
Oh iya, fyi ya, ibu bos gue ini juga “cina” loh, ibu bos berwajah “cina” yang menggantikan bapak bos “cina” gue sebelumnya. Kenapa harus gue sampaikan kata “cina”? Bukan karena apa-apa. Gue hanya kepikiran begini, menurut pengamatan, sentimen rasialis di Indonesia mulai naik lagi, gue ingin selalu berusaha menyampaikan pesan agar kita lebih objektif.
Kalau gue salah, bukan karena agama gue nyuruh mengerjakan kekeliruan. Kalau gue berbuat gak bener bukan lantas semua orang dari suku dan ras gue dicap gak benar. Bukan begitu?