Tentang Penulis

Catatan

Kaya Ahok, Bos Gue Orang “Cina”

Tahun 1998. Waktu itu gue masih 10 tahun, kelas 4 SD. Masih terlalu belia, namun masih segar diingatan, walau dulu, kebanyakan toko mereknya Pribumi, semua tutup bahkan sebagian terbakar dan terjarah.

Meski berada dipinggiran Jakarta, tetap saja suasana begitu mencekam. Gue, si bocah kecil, sebagai penonton yang gak mengerti kenapa terjadi, sangat ketakutan, apalagi pasti si engko dan enchi, si Cina peranakan para pemilik toko.

Sejak saat itu, berpuluh-puluh tahun, lulus SD, SMP, SMA hingga kuliah, baru sejak 2015 gue sangat intens berinteraksi dengan yang katanya bukan orang pribumi, ya bos gue orang “Cina”, namanya juga hanya 3 suku kata, tidak ia ubah, salah satu tanda pada umumnya kalau nenek moyangnya orang sana.

Orang “Cina” bukan orang Tiongkok. Lebih tepatnya orang Cina peranakan. Sebagian kalangan masih suka menyebutkan dengan panggilan orang Cina meski sebenarnya mereka WNI, Warga Negara Indonesia sejak lama.

Awalnya, gue dan bos gak pernah saling mengenal meski gue sudah pertama kali bertemu di tahun 2013 ketika bekerja salah satu BUMN, beda divisi. Baru di pertengahan tahun 2015, kami bisa satu divisi, mungkin hanya intens 6 bulan sebelum akhirnya beliau memutuskan pindah ke tempat baru, salah satu BUMD Ibu Kota.

Sebelum ia pindah, beberapa kali gue dipanggil ke ruangannya. Ada beberapa inti percakapan yang gue coba intisarikan.

Bos: “Katanya lu mau keluar?”
Gue: “Iya pak.” Jawab gue singkat.
Bos: “Emang kenapa?”
Gue: “Cicilan rumah pak. Hahaha” Gue memang selalu mengatakan apa adanya kesiapapun, kalau gue lagi nyicil rumah. Ya rumah cilik, tipe 36 m2 tanah 84 m2 yang harganya tak masuk akal.
Bos: “Lu sabar aja dulu, ikut gua aja”, tutupnya.

Tekad gue memang sudah bulat untuk keluar waktu itu. Selain merasa 2,5 tahun itu sudah lumayan lama, gue mencari siapa lagi orang dan perusahaan lain yang mau membayar lebih lagi dari sebelumnya. Sepanjang 2015, ada puluhan aplikasi internet, hanya 3 yang minat, 2 diantaranya memberikan offering letter.

Semua yang ditawarkan punya plus minus, gue dah hitung. Termasuk penawaran untuk bertahan di tempat yang lama. Singkat cerita, 1 November 2015 tahun lalu gue akhirnya memutuskan untuk ikut bos “cina” ini.

Lama-lama, mata bos yang sipit, ternyata telah membuka mata gue tidak lagi sesipit dan sesempit pemikiran terhadap para keturunan yang katanya medit (bahasa Jawa) dan koret (bahasa Betawi). Medit dan koret itu berarti pelit atau kikir.

Bos gue baik banget, gue dikasih sepatu sport dari Hongkong, sepatu pantopel dari Finlandia, komputer juga. Semua dari uang pribadinya. Dia sendiri yang nyuruh beli komputer, gue buat anggarannya, gue minta masukan temen IT bikin anggaran, komputer rakitan dengan spek terbaik waktu itu, 24 September 2016. Notanya masih gue simpen di dompet sampai sekarang. Gue kenang sebagai jasa baik bos gue. Masih banyak lagi kebaikannya yang gak bisa gue sebutin.

Secara umum, bos gue ini mencerminkan orang keturunan pada umumnya, yaitu pekerja keras. Meski gak sempurna, beliau sangat baik. Meski berbeda agama, kita tetap saling menghormati. Meski sering memerintah dan beberapa kali memarahi, tak ada itu sebutan merendahkan seperti fan kui, cuo kui, huanna dan tiko yang dulu sering digunakan sebagian kalangannya untuk merendahkan pribumi.

Ada pelajaran, mengutip Teguh Setiawan dalam bukunya Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis (2012), sejujurnya tak sedikit dari mereka para orang Cina Indonesia dan keturunannya yang menjadi bagian kisah epic tentang kepahlawanan dan persahabatan di negeri ini.

Bagaimana mungkin kita membenci, padahal sejarah mereka dalam sejarah sudah tercatat sebelum Indonesia merdeka, tahun 1400-an. Bagaimana mungkin kita membenci orang yang ditakdirkan sebagai orang Cina seperti Admiral Cheung Ho dan Haji Ma Huan yang menemaninya datang ke Indonesia?

Kita pun tak mungkin membenci Marga Gan sebagai masyarakat Muslim Tionghoa yang pertama kali singgah di Pulau Jawa, dan melahirkan Gan Eng Wang sebagai bupati pertama di Majapahit yang beragama Islam?

Pun demikian, bagaimana mungkin kita membenci Tjan Toe Soe seorang sinolog dan Tjan Tjoe Siem seorang sarjana Islam dan Kebudayaan Jawa yang memiliki nenek moyang sebagai prajurit setia Pangeran Diponegoro? Kita pasti juga tidak mungkin membenci Suku Hui dan Uighur Muslim yang asli Cina toh.

Dalam sejarahnya, apakah kita akan membenci Dinasti Ming yang pernah berkuasa dan terbuka serta tidak diskriminatif terhadap perkembangan Islam. Dalam perjalanannya, apakah mungkin kita membenci orang-orang keturunan seperti Kwik Kian Gie yang memiliki nasionalisme, mungkin lebih tinggi dari kita.

Kalaupun ada yang salah dalam sejarah, bukan ras-nya yang perlu kita permasalahkan, tetapi orangnya, kebijakannya.

Memang pada akhirnya subjektif kitalah yang menentukan kemana arah sentimen kita. Maka berbuat adilah, karena bukankah adil itu lebih dekat kepada taqwa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *