Kesementaraan
Beberapa waktu lalu gw iseng aja whatsapp temen yang kebetulan punya posisi sebagai salah satu pemimpin tertinggi di salah satu Perusahaan, tentu perusahaan itu bukan punya dia, dia hanya diamanahi oleh pemegang saham.
Gue chat, “baru baca berita, tetap semangat om!” Sambil gue lampirkan salah satu link berita dimana sedang musim pergantian pemain.
Mungkin kalian kira gw kok tega ya, lagi musim bongkar pasang, malah share begituan. Motivasinya, cuman mau menyemangati aja sebagai salah satu orang yg pernah kerja bareng.
Gw chat dia juga ga berharap dia ajak gw, nggak. Kalau urusan ajak mengajak, gw dah jawab ke dia dulu waktu sblm diangkat bahkan, gue s.d tulisan ini ada gw belum siap untuk menjajal lagi dunia lama.
Singkat kisah, dia bales begini, “Siap om, biasalah ini om, direksi mah harus siap diangkat dan siap di pecat.” Dia bilang begitu sambil pasang emot nyengir.
Gue sepakat apa yg dia omongin. Emang harusnya begitu, toh kita bukan pemilik perusahaan apalagi pemilik kekuasaan.
Tapi ga semua orang bisa menghadapi hilangnya tampuk kekuasaan dengan terbuka dan lapang dada, hal ini karena kebanyakan mungkin sudah terbiasa memiliki otoritas, banyak anak buah, mendapatkan fasilitas dinas, driver, mobil, biasa hidup enak tiba-tiba dikejejar bayang2 jobless atau bahkan non-job.
Gw pernah diceritain dari orang yang pernah ditugaskan membawa map berita acara pergantian para pejabat. Kata dia, reaksi orang waktu diganti itu beda-beda. Ada yang marah, ada yang mempertanyakan, ada yang terima. Nah yang terima ini perlu kita bahas di sini, dicoretan ringan di blog ini.
Orang-orang yang menerima itu punya prinsip ke-sementara-an. Jadi semua serba sementara, apalagi jabatan. Tentu ada batas waktu yang mengikutinya. Kalau direksi ya paling lama 2 periode di perusahaan yg sama, maksimal 10 tahun kalau milik negara/daerah. Seringnya, yg gue temui kurang dari itu. Jarang yang sampe bener-bener 2 periode atau 10 tahun di tempat yang sama.
Jadi prinsip ke-sementara-an adalah prinsip dasar supaya kita tidak hilang akal dalam menghadapi hilangnya sebuat posisi atau jabatan. Emang ga mudah punya mindset itu. Tetapi kalau dah punya jadi ga ada beban berlebihan ketika diganti, tidak post power syndrom juga.
Para alim, sering mengibaratkan ke-sementara-an seperti tukang parkir profesional yang dititipi kendaraan mobil motor. Dia tidak marah ketika barang yang dititipkan diambil si empunya. Karena tukang parkir tidak merasa memiliki mobil motor tersebut, tugas dia hanya menjaga. Sama seperti amanah, tugas kita menjaga dan menjalankannya, bukan mempertahankannya.
Prinsip ke-sementara-an ini sama dengan firman Tuhan bagi orang yang meyakininya.
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki……
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
— Surat Ali ‘Imran Ayat 26
Artinya kekuasaan itu dipergilirkan. Kita harus ubah mindset kita dalam menghadapi gemerlapnya kekuasaan, bahwa segala sesuatu itu sementara, dan tak ada yang abadi. Ini membantu switching mode otak, pikiran dan perbuatan kita ketika terjadi turbulensi dalam karir.
Namun demikian, bukan berarti karena semua sementara, terus kita langsung rebahan dan mager/males gerak. Haha. Big no. Tentu tidak.
Kalau gue perhatiin ya, orang yang sudah berada pada level tertinggi dalam karirnya, ketika ia diganti dari jabatannya, entah karena alasan politis atau apapun, kebanyakan dari mereka yang gue temui tetap berkarya, dan ditawari posisi strategis lain karena berhasil memanage karirnya mereka.
Misal diganti dari komisaris utama perusahaan A, eh besoknya ada di perusahaan B, C dst. Yg tadinya diganti dari posisi direktur, besoknya tetap direktur di tempat lain, ya kalau dia mau santai dikit milih jadi komisaris.
Salah satu yang gue pelajari dan dapatkan dari mereka. Mindset ke-sementara-an harus dibarengi dengan: values, nilai-nilai.
Kita lanjut bahas values ya di tulisan selanjutnya. Sabar, gue ngetik dulu.
Mantapppppp