Pantura
Ada hikmah dalam setiap perjalanan, termasuk perjalanan gue menyusuri jalur Pantai Utara, Jakarta – Tegal, 323 Km dengan kendaraan motor andalan gue, PCX. Hahaha..
Mungkin perjalanan gue ibarat makna harfiah kata “Sai” layaknya Ibunda Ismail Siti Hadjar ketika mencari air untuk anaknya dari bukit Shafa ke Marwa terus sebanyak 7 putaran.
Sai sendiri artinya berusaha. Gue sedang berusaha mencari makna kehidupan sambil melihat banyak keadaan yang gak akan bisa gue rasakan ketika gue masih duduk di kursi ber-AC.
Apa yang gue dapatkan dalam perjalanan, air zam-zam? Tentu bukan. Telor asin? Juga bukan. Apakah gue dapat kitab suci kayak film Kera Sakti juga nggak. Tapi yang gue dapat adalah makna kehidupan. Anjay.
Pertama, Pantura telah banyak mengalami perubahan. Warung makan yang dulu ramai banyak berubah tak berpenghuni. Sepi, tersisa bangunan-bangunan yang tidak termanfaatkan.
Ini tentu imbas adanya pembangunan Jalan Tol Cipali dan Trans Jawa. Kendaraan-kendaraan roda empat tentu lebih memilih jalur bebas hambatan meski harus membayar lebih mahal.
Tetapi kita gak bisa juga menyalahkan pembangunan jalan tol. Toh ini juga untuk memperlancar arus lalu lintas orang dan juga barang, mengefisienkan bahan bakar. Pasti tetap ada multiplier effect positif yang mungkin kita gak tahu.
Yang pasti setiap kebijakan gak akan bisa memuaskan banyak pihak. Pasti ada saja yang terdampak atau tertinggal gak diperhatikan dari setiap pembangunan.
PR nya adalah bagaimana memininalisir dampak. Pembangunan pelabuhan terminal Patimban secara regional mudah-mudahan bisa ikut membangkitkan kembali semangat jalur Pantura yang kian hari kian meredup. Sekaligus perlahan melepas ketergantungan terhadap peran Ibu Kota Jakarta.
Di sini pentingnya peran pemerintah, untuk mendrive arah pembangunan regional. Harus ada program-program kreatif yang didesain untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Pantura. Paling tidak untuk semakin berkurangnya penjaja warung remang-remang dan orang-orang yang duduk di jembatan meminta belas kasian pengguna jalan.
Suatu saat Pantura bisa lagi berjaya sama kayak kehidupan. Kan rumus kehidupan gini-gini aja. Ada yang dulu berjaya sekarang merana. Sekarang merana besok merana. Sekarang merana besok berjaya. Sekarang berjaya besok berjaya. Ya semua karena momentum, ada yang bisa memanfaatkan ada yang tenggelam.
Kedua, pengangguran nyata di sekitar kita. Waktu arus balik, Tegal – Jakarta. Gue sengaja berenti di jembatan perbatasan Subang – Indramayu.
Seperti yang gue singgung di atas. Di situ banyak orang duduk di jembatan, dengan sapu lidi panjang. Ya mereka berharap ada yang melempar koin atau uang serebu dua rebu.
Fenomena itu sudah berlangsung puluhan tahun. Dari gue waktu kecil ketika naik bis lewat sampai gue lewat naik motor.
Gue istirahat dekat situ. Gue tanya abang parkir memang sudah lama, bahkan sudah jadi profesi. Dan abang parkirnya juga baru aja jadi pengangguran (tidak kerja formal). Tadinya dia di Jakarta, menjadi karyawan restoran. Tapi efek Covid dia dibebastugaskan.
Tak lama berselang datang 2 anak muda naik motor mampir juga beristirahat sebentar. Asal mereka dari Kabupaten Cirebon. Usianya mereka 19 tahun. Gue tanya, mereka mau ke Jakarta wawancara pekerjaan di Karawang.
Tapi yang membuat gue terkejut mereka membayar uang pendaftaran 5 juta per orang. Salah satu diantara mereka dulu pernah tertipu 3 juta rupiah, karena membayar hanya untuk daftar menjadi security walau akhirnya gak jadi kenyataan.
Meski pernah tertipu, kali ini katanya sih dijamin diterima. Gila ya, orang nyari kerja susah sekarang. Mesti harus keluar duit buat dapat duit.
Sementara kita yang masih punya pekerjaan, sering santai bahkan sering melalaikan kewajiban sebagai karyawan karena merasa kantor berbadan usaha milik nenek moyang. Ya gak semua karyawan kayak begitu, mungkin gue doang yang sering lalai dan gak bersyukur.
Pelajarannya banyak yang gue dapatin dari point ke-2 ini. Kita kekurangan pengusaha nasional yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Kita perlu mengundang investor investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Dan Indonesia perlu membasmi orang2 yang melakukan pungutan liar, memungut biaya pendaftaran bekerja, padahal tidak resmi dan bukan sikap perusahaan atau instansi. Wani?
Ketiga, mensyukuri kehidupan. Kata bapak gue, kita itu nggak kayak nggak miskin. Bener sih. Mau dianggap kaya, ada yang lebih kaya. Mau menganggap miskin, banyak yang lebih susah hidupnya.
Naik motor dianggap susah. Tapi gue masih bisa nginep bareng2 dengan mobil-mobil di hotel Bintang 3 waktu perjalanan, pergi dan saat balik. Sementara gue yakin, banyak orang yang lebih susah, buat makan aja susah.
Ya gue emang belum punya kendaraan roda empat, baru ada roda dua. Kalau baru bisa roda dua jangan maksa punya roda empat. Yang harus dipunya itu rasa bersyukur apa yang ada dulu di depan mata.
Maen sama orang2 lebih kaya, pejabat, ya gak apa-apa. Jadi jalan buat untuk memotivasi diri. Tetapi gue juga harus sering-sering maen ke bawah, supaya bisa merasakan keprihatinan.
Selain motor, paling nggak gue pernah menyusuri pantura dengan kereta, angkutan umum bis, sampai pernah naik mobil bak dikasih tenda waktu kecil ketika mau mudik ke cirebon bareng bapak dan ibu. Semua itu hanya sarana untuk belajar tentang makna cukup. Kalau kita susah mensyukuri yang dianggap kecil, kata orang maka kita susah juga mensyukuri sesuatu yang besar.
.. dan kita juga gak perlu merasa iri dengan orang lain karena kita gak tahu apa-apa yang telah diambil dari orang itu…
Berat sih.. gue juga masih terus belajar..