Tugas Negara
Sebelum lulus kuliah, gue diajak dosen-dosen untuk keliling bawain kardus ke beberapa daerah di Indonesia Timur, mulai dari Manado, Gorontalo, Makassar dan Papua. Dosen gue bersama World Bank ngadain pelatihan peningkatan capacity-building bagi para ASN provinsi. Sebuah pengalaman berharga yang membuat gue termotivasi untuk gabung dan bekerja di pemerintahan ketika gue lulus nantinya.
Setelah lulus kuliah, gue memutuskan menjadi tenaga muda di pemerintahan dan bertugas sebagai staf di salah satu kesekretariatan di bawah salah satu kementerian, dengan status non ASN, alias tenaga kontrak. Meski terbilang singkat, di situ gue belajar, oh begini ya jadi penyelenggara negara yang bisa membuat dan mempengaruhi kebijakan.
Meski ya gue waktu itu cuma sebatas butiran debu, tetapi gue merasakan atmosfernya bahwa kebijakan dan pelaksanaan yang tepat sasaran akan membawa sisi positif bagi pelaku dunia usaha. Ketika iklim dunia usaha bagus, geliat investasi meningkat, kebutuhan tenaga kerja meningkat, pengangguran berkurang, pemasukan negara bertambah, infrastruktur membaik, arus barang dan jasa semakin cepat, inflasi stabil, daya beli meningkat dan ujungnya masyarakat sejahtera.
Setelah itu, setelah beberapa saat belajar dan berinteraksi dengan banyak pihak, sepertinya gue mulai tertarik dengan dunia bisnis para pelaku usaha. Gue tertarik untuk join dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ya masih satu circle lah dengan pemerintahan dan para penyelenggara negara.
Secara filosofi, BUMN itu hadir juga untuk mengakselerasi pembangunan dan melakukan pemerataan dan mengisi ruang-ruang kosong yang terkadang gak ada cuan-nya, karena gak ada cuannya banyak swasta kurang tertarik untuk berbisnis di dalamnya. Disitulah BUMN hadir.
Singkat cerita diterima di salah satu BUMN yang dianggap sebagai salah satu “Rumah Sakit”nya BUMN. Ternyata, BUMN juga bisa sakit, sakit sembuh lagi atau sakit kemudian “mati”. Next, mungkin gue bisa share kenapa sebuah perusahaan bisa up and down dari perspektif gue. Tapi gue gak akan bahas itu dulu di sini.
Setelah dari situ gue memulai petualangan ke BUMD dan balik lagi ke grup BUMN. Kurang lebih kalau ditotal karir profesional ya sekitar 12 tahun gue belajar dari institusi bisnis yang dimiliki negara dan daerah.
Pertanyaannya, kenapa gue gak bekerja di swasta? Pada waktu itu, gue masih berpikiran ideologis bahwa negara yang diwakili pemerintah (termasuk BUMN dan BUMD) adalah aktor terpenting pembangunan.
Negara perlu hadir sebagai pemain dan intervensi kebijakan arah pembangunan, baik moneter maupun fiskal. Karena kalau nggak, “In the long run we’re all dead.” Kata Keynes, ekonom Inggris (1883–1946).
Tapi setelah gue menyelami, walau diintervensi, kebijakan pemerintah bisa gagal nations fail dan BUMN/D bisa tidak perform bahkan berhenti beroperasi. Apa karena oposisi bagi pemerintahan? Apa karena kalah saing dengan swasta bagi BUMN/D? Sedikit mungkin iya, tapi faktor terbesar adalah karena kitanya sendiri. In my opinion ya, correct me if i am wrong.
Terlepas dari itu, seiring usia gue tambah tua, haha.. gue semakin yakin, kalau permasalahan yang bangsa kita hadapi gak cukup hanya selesai oleh pemerintah atau BUMN/D aja. Sehingga pemerintah bukan satu-satunya aktor, ada institusi private atau swasta dan bahkan institusi non-profit yang juga sama-sama penting sebagai tri-sector leaders atau tri-sector athletes. Sehingga semua perlu collabs untuk pembangunan. Pada akhirnya gue gak lagi melihat hanya pemerintah atau BUMN/D yang berperan besar bagi bangsa ini.
Salah satu kesadaran filosofi makro inilah yang membuat gue 4 Januari 2021 tahun lalu memutuskan menantang karir di swasta nasional. Gak mudah untuk bekerja di sini, sampai dengan saat ini gue juga masih struggle, extra-efforts and extra-miles, tetapi gue pikir swasta jauh lebih fleksibel, less-bureaucracy. Itu yang gue suka.
Tetapi beginilah hidup, ketika gue sudah mulai nyaman karena kebaikan yang diberikan ke gue, selalu ada “kesempatan” lain yang ditawarkan. Satu datang, gue bilang belum bisa. Ilang kemudian datang lagi. Gue juga bilang belum bisa. Datang baru, gue sangat pasif, buying time. Hilang, hilang. Muncul lagi. Datang lagi yang lain. Gue bilang nggak dulu. Terus berulang begitu dalam satu tahun terakhir ini.
Apakah ini lu yang minta? Nggak. Gue gak minta sama sekali. Sengaja linkedin gue gak gue update juga. Karena sekarang gue dah gak punya utang apapun. Gak ada motivasi untuk mendapatkan lebih dari sekarang. Sekarang aja sudah lebih dari cukup.
Lalu apakah mereka menawarkan sesuatu yang lebih wah? Gue sama sekali gak pernah tanya ttg cuan di awal. Bahkan gue ga pernah minta bantuan “orang kuat” untuk sekedar bantu negosiasi gaji sepanjang karir gue. Sekilas kayak mitos tradisi anak UGM yang gue terus lestarikan: kalaupun nego itu tipis, terserah bapak, siap pak.
Lalu apa yang mereka tawarkan? Mereka gak menawarkan apa-apa. Kalau gue simpulkan mereka seolah menitip pesan: ini ada tugas negara. Mau gak ambil bagian dalam tim untuk sama-sama menyelesaikan cost overrun, menjalankan program restrukturisasi dan melanjutkan transformasi bisnis negara?
Sebagai mantan anak paskib sekolahan yang pernah ikut pelatihan bela negara. Apakah gue harus bilang “SIAP” pada akhirnya? Hmmm…